Selasa, 13 Agustus 2013

Bersastra Melalui Facebook




Oleh Agus Pribadi

(Wacana Lokal Suara Merdeka
21 Januari 2012)


FACEBOOK merupakan salah satu jejaring sosial yang bisa digunakan untuk berbagai keperluan. Selain menjalin pertemanan, media itu dapat digunakan mempromosikan suatu produk, transaksi barang dan jasa, dan sebagainya. Salah satu manfaat yang sebenarnya juga bisa dipetik adalah melatih kemampuan menulis.
Seseorang dapat menulis cerpen, puisi, atau berita pada menu status atau note. Jika ingin lebih serius latihan menulis bersama, seseorang dapat bergabung pada menu grup di jejaring sosial itu, yang khusus membicarakan dunia tulis-menulis.
Salah satu grup facebook yang ada di Banyumas adalah Penamas, akronim dari Para Penulis Muda Banyumas. Awalnya grup menulis itu membahas mengenai dunia tulis-menulis secara sederhana dan santai. Puisi, cerpen, dan tips menulis kerap di-posting lewat menut grup.
Seiring berjalannya waktu, kegiatan komunitas itu makin serius. Proyek pertama adalah membuat antologi cerpen Banyumasan. Dalam waktu empat bulan, dari awal Agustus hingga November 2011, terbitlah buku Balada Seorang Lengger. Meskipun terbit secara indie, pengantarnya ditulis oleh sastrawan kondang asal Banyumas yang juga diakui secara internasional, yaitu Ahmad Tohari.
Dia penulis trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang menjadi inspirasi film ’’Sang Penari’’. Dalam kata pengantarnya, Ahmad Tohari berpesan bahwa kepengarangan adalah proses yang tidak boleh berhenti. Dia menyemangati ke-19 penulis dalam buku tersebut agar kelak menjadi penulis yang dapat dibanggakan bagi bangsanya.
Terbitnya buku Balada Seorang Lengger merupakan salah satu bukti, bahwa facebook dapat digunakan sebagai media bersastra. Diskusi dan proses kreatif bersastra dilakukan melalui dunia maya, dan hasilnya menjadi nyata, yaitu sebuah antologi cerpen.
Tentunya hal itu patut untuk dilestarikan dan dikembangkan oleh masyarakat kita pada umumnya dan generasi muda pada khususnya. Dengan menulis melalui media jejaring sosial akan tumbuh budaya masyarakat yang gemar menulis. Dari gemar menulis mengarah pada gemar menerbitkan buku. Jika banyak buku terbit yang ditulis oleh generasi muda , tentu merupakan suatu kebanggaan bagi kita semua. Khasanah literasi akan semakin kaya dan beragam.
Teknologi Informasi
Penamas merupakan salah satu wadah, yang diniatkan melanjutkan jejak kepengarangan Ahmad Tohari. Jejak sastrawan asal Desa Tinggar Jaya Kecamatan Jatilawang Banyumas ini patut diikuti oleh generasi muda Indonesia, terutama anak muda Banyumas. Dia dikenal sebagai penulis yang berciri khas menampilkan lokalitas budaya.
Masyarakat pedesaan dengan tokoh-tokohnya, merupakan salah satu ciri khas karya-karyanya baik cerpen maupun novel. Hal ini juga menjadi kekuatan karya sastra yang ditulis oleh penulis cerpen ’’Senyum Karyamin’’ ini. Semangat melestarikan dan mengembangkan lokalitas budaya melalui karya sastra patut menjadi pegangan generasi muda. Era globalisasi yang banyak menawarkan budaya asing ini seakan mendapatkan filternya melalui kegiatan bersastra ini.
Kegiatan bersastra melalui facebook  dapat mengikis kesan negatif bahwa jejaring sosial itu hanya media buang waktu sia-sia, dan stigma negatif lainnya yang disematkan pada penggunanya. Jejaring sosial itu hanyalah media. Pemanfaatannya untuk tujuan positif atau negatif bergantung penggunanya.
Selain media itu, ada blog keroyokan yang juga merupakan media sosial. Anggota di dalamnya dapat berinteraksi melalui tulisan atau komentarnya. Hal ini membuktikan teknologi informasi menjadi salah satu pendukung bagi masyarakat untuk memulai menulis. Jurnalisme warga atau pewarta warga bisa muncul dari blog keroyokan.
Masyarakat dari beragam latar belakang dapat membuat tulisan jenis apa pun: cerpen, puisi, artikel, atau berita. Jika kita telah mempunyai akun dan mempunyai hobi menulis fiksi, jangan ragu mari bersastra melalui facebook. (10)

— Agus Pribadi SSi, Koordinator Para Penulis Muda Banyumas (Penamas), guru Biologi SMP Negeri 5 Kecamatan Mrebet Kabupaten Purbalingga

Sastra Banyumas di Dunia Gadget


Oleh Abdul Aziz Rasjid

-- Esai ini dipublikasikan pertama kali di SKH Kedaulatan Rakyat, Minggu 20 Mei 2012. Lembar Budaya Kolom Catatan Budaya

Tidak selamanya teknologi dan perkembangan sains merampas kemanusiaan. Internet sebagai fitur paling pupuler di dunia gadget yang tergenggam dalam smart-phone, Ipad atau yang ditatap di depan layar netbook telah memberi kemampuan dan kemudahan pada banyak orang yang memiliki minat bersama untuk saling menemukan dan berkomunikasi. Bagai jamur di musim penghujan, kini bermunculan grup-grup berbasis kesusastraan di jejaring sosial semisal facebook ataupun blog. Dalam grup ini agenda-agenda sastra diumumkan, karya-karya sastra dipublikasikan, wacana sastra saling didiskusikan tanpa harus saling bertatap muka cukup memainkan jari di tombol-tombol gadget.

Di Banyumas, beberapa orang yang memiliki minat pada sastra membentuk grup-grup semacam itu di dunia maya. Sekadar menyebut beberapa contoh: ada Komunitas Pilar Penyair yang berisi anak-anak muda dari STAIN Purwokerto yang tekun menulis karya sastra, ada Pendhapa Sastra Jawa & Banyumasan yang memiliki minat membicarakan cerita cekak, geguritan dan esai sastra Jawa, ada juga Sanggar Sastra Wedang Kendhi yang memaksimalkan grup sebagai media untuk mengundang beberapa penulis agar mempublikasikan karyanya dalam bulletin yang mereka kelola. Kehadiran grup-grup ini setidaknya menandakan bahwa sastra kini tak hanya hadir di ruang sunyi tapi juga berbaur di dunia gadget yang penuh hiruk pikuk pergantian informasi tiap detiknya.

Keberagaman grup sastra Banyumas di dunia gadget juga semakin menarik dengan kehadiran Penamas yang merupakan akronim dari Para Penulis Muda Banyumas. Berbeda dengan beberapa grup yang saya sebut di atas, Penamas sebagai suatu perkumpulan memiliki struktur yang jelas, program-program kerja terencana yang disatukan oleh motto bersama yang berbunyi begini: “Menampakkan sikap optimis dan solidaritas yaitu mencoba bersama, membangun jiwa kepenulisan, mengasah talenta, mencipta karya dan menyerukan kebangkitan penulis muda Banyumas”.

Membaca dokumen-dokumen Penamas yang dipublikasikan di grup facebook, kita dapat mengetahui adanya pembagian peran dan posisi secara terinci yaitu penasihat yang terdiri dari Setijanto Salim dan Ronggo Sujali; Pengurus yang diketuai Agus Pribadi, dan beberapa nama anggota yang tercatat berjumlah lebih dari 20 orang. Sedang dokumen yang lain berisi acara mingguan untuk bedah cerpen juga agenda untuk mengantologikan cerpen dan cerita cekak yang mengangkat tema sosial budaya Banyumas.

Tak cukup puas berkarya di dunia maya, Penamas telah memproduksi buku antologi cerita pendek bertajuk Balada Seorang Lengger (LeutikaPrio, 2011). Buku yang telah diedarkan sejak awal tahun 2012 ini, memuat 19 cerpen dari 19 penulis yang berbeda usia, profesi, tempat tinggal namun jika kita mengamati kata penutup yang ditulis oleh Setijanto Salim selaku penasihat terinformasikan bahwa kebanyakan dari para penulis ini adalah alumnus Fakultas Biologi Universitas Jenderal Soedirman yang memiliki ketertarikan pada sastra dan dunia tulis menulis.

Ahmad Tohari penulis Trilogi Ronggeng Dukuh Paruk yang didapuk menulis kata pengantar untuk buku Balada Seorang Lengger mengatakan bahwa kekuatan buku ini memang berada pada ciri khasnya yang mengangkat kelokalan Banyumas. Dalam pembacaan terhadap karya-karya yang termuat dalam buku ini. Ahmad Tohari juga menggaris bawahi bahwa ada ciri umum pada 19 cerpen yang memperlihatkan kelemahan tekstual yaitu narasi yang belum tergorganisasi secara optimal, kurang padat, juga ending yang terkesan tergesa dan gagap. Tapi Ahmad Tohari percaya, segala kekurangan tersebut akan terselesaikan jika para penulis tekun dan sabar berproses sampai menuju kematangan.

Kekurangan ini memang dapat dimengerti dan dimaklumi karena para penulis yang menyumbangkan karyanya dalam buku ini dengan rendah hati mengakui bahwa mereka masih muda pengalaman dalam aktivitas tulis menulis. Kita pun tahu, internet sebagai fitur dunia gadget telah menjadi alternatif ruang apresiasi karya sastra di luar industri media cetak dan industri penerbitan mapan. Tapi, internet yang bersifat bebas itu memang berpotensi untuk dimasuki siapapun dari kalangan apapun, dan tak menutup kemungkinan sesiapun dapat beridentitas anonim juga palsu dapat memberi apresiasi, sanjungan maupun kritikan entah dalam sifat santun atau sebaliknya. Dunia gadget yang hiruk pikuk itu memang membutuhkan sikap kerendah hatian sebagai modal agar tak mudah jumawa ketika suatu karya mendapat sanjungan atau sebaliknya mudah berkobar amarah jika dipojokkan oleh kritikan.


BIODATA PENULIS
Abdul Aziz Rasjid, aktif menulis esai dan kritik sastra. Beberapa tulisannya dimuat di majalah BASIS, Littera (Taman Budaya Jawa Tengah), koran Jawa Pos, Kompas, Kedaulatan Rakyat, Lampung Post, Minggu Pagi, Radar Tasikmalaya, Radar Banyumas, Suara Karya, Suara Merdeka, Seputar Indonesia, Jurnal Yin-Yang, Buletin Sastra Pawon, Sastra Digital, Horison online dan lain-lain. Di samping itu, esai dan kritiknya juga terhimpun dalam antologi bersama semisal kumpulan esai Kahlil Gibran di Indonesia (editor: Eka Budianta, Ruas, 2010), juga menulis kata pengantar maupun penutup buku sastra, semisal buku sajak Yang, Kumpulan Sajak 2003-2010 (Abdul Wachid B.S., Cinta Buku, 2011), buku sajak Ulang Tahun Hujan (Teguh Trianton, Beranda Budaya, 2012), buku sajak Pilarisme (2012), buku cerpen Lelaki yang Dibeli (Gusrianto, dkk, Buku Litera, 2011). Ia tercatat sebagai Pemenang III Sayembara Esai Sastra Bulan Bahasa 2010, Pusat Bahasa Kementerian Pendidikan Nasional dan pernah diundang dalam beberapa gelaran sastra, semisal: Sarasehan sastra “Perjuangan sastra melawan Krisis” yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jawa Tengah (2009) dan diundang oleh Kedubes Libanon dalam “In memory of the birthday of Kahlil Gibran (1883-1931) and his imense contribution to the Indonesian literature” (2010). Latar belakang akademis di bidang psikologi diperolehnya dari Fakultas Psikologi Universitas Muhammadiyah Purwokerto. Kini menjadi pengajar di Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto (2010-2012), bergiat di Komunitas Sastra Beranda Budaya, hidup bahagia di Dukuhwaluh, merawat kura-kura ―Hermes & Rema― dan menekuni hobi bermain Football Manajer dan Pro Evolution Soccer.

Geliat Cerkak di Banyumas



Oleh Indra KS (Suara Merdeka, 30 Juni 2013)
            Bahasa Banyumas merupakan salah satu fragmen bahasa Jawa yang khas, ngapak. Bahasa ini berasal dari bahasa Jawa kuno yang berkembang sejak zaman Majapahit. Sebagai salah satu kekayaan khazanah bangsa, bahasa Banyumas harus dilestarikan. Mengingat pentingnya hal tersebut, akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis cerita cekak (cerkak) Banyumasan. Misalnya Agus Pribadi, Darso Steel, Ki Ali, Hudaya Soemarno, Wal Waluyo, dan lain-lain.
Para penulis cerkak itu tentu saja telah memberikan sumbangsih terhadap kelestarian bahasa Banyumas. Selain itu, mereka juga sering mengangkat kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas. Misalnya seni buncis, ebeg, dan lain-lain. Selain kesenian juga terdapat berbagai representasi tokoh yang mewakili sifat cablaka yang merupakan salah satu identitas orang Banyumas.
Teguh Trianton (2013) mengatakan secara kontekstual cablaka maknanya serupa dengan blakasuta, yaitu berbicara blak-blakan atau tanpa tedeng aling-aling. Jadi dapat disimpulkan bahwa cablaka merupakan perilaku apa adanya tanpa dibuat-buat. Sebagai contoh terdapat pada cerkak “Kaki Talam Kurang Gaul” karya Wal Waluyo yang dimuat Satelit Post (Minggu, 24 Juni 2012).
Diceritakan Kaki Talam akan ke Jakarta untuk menjenguk cucunya yang baru lahir. Ia membawa beras, petai, lontong, dan mendoan dari rumah. Sebagai orang zaman dulu, tidak ketinggalan Kaki Talam memakai iket. Dalam perjalanan, di dalam bus Kaki Talam terdorong oleh penumpang lain dan iketnya jatuh lalu terinjak-injak.
Tanpa berpikir panjang Kaki Talam berteriak agar iketnya jangan diinjak. Tetapi penumpang yang disampingnya mengira kalau Kaki Talam minta diiket (diikat). Jadi cepat saja Kaki Talam diikat. Terus tongkat (teken) yang dibawa juga jatuh, lalu Kaki Talam berteriak lagi minta tolong tekennya. Penumpang bertubuh gendut di sampingnya juga salah tafsir kalau Kaki Talam minta diteken (ditekan). Orang itu pun menekan Kaki Talam dengan tubuhnya.
Dari cerkak tersebut terlihat jelas representasi kaki Talam yang bersikap cablaka atau bersikap apa adanya sebagai salah satu ciri orang Banyumas. Dengan keluguannya Kaki Talam berangkat tanpa meninggalkan kebiasaannya yang dilakukan orang Banyumas yaitu kalau bepergian selalu membawa bekal dan membawa oleh-oleh dari rumah yang berupa hasil panen.
Selain cablaka, orang Banyumas juga mudah memaafkan. Sebagai contoh digambarkan pada cerkak “Diskon Nunggang Taksi” karya Hudaya Soemarmo yang dimuat dalam Satelit Post (20 Mei 2012). Diceritakan tokoh Inyong yang naik taksi tertidur, tanpa diduga tujuan yang dikehendaki telah terlewati saat terbangun.
Tokoh inyong pun memaafkan karena sopir taksi tersebut memang belum begitu hafal daerah tersebut. Dengan tidak sombong tokoh Inyong pun menjadi penunjuk jalan. Dan tanpa diduga sopir taksi tersebut juga orang dari tanah ngapak, tepatnya orang Cilacap.
Setelah sama-sama mengetahui dari satu daerah, mereka malah menjadi akrab dan yang tadinya menggunakan bahasa Indonesia sekarang beralih ke bahasa ngapak. Setelah sampai pada alamat yang dituju sopir tersebut tidak mau dibayar secara penuh, tetapi mengembalikan sebagian uang yang diberikan tokoh Inyong.
Dari jalan cerita cerkak tersebut digambarkan kalau orang Banyumas mudah memaafkan kesalahan orang lain. Tentunya dalam keadaan yang masih wajar untuk diberikan maaf. Selain itu, pada cerkak tersebut juga digambarkan bahwa orang Banyumas tidak serakah. Itu dibuktikan pada sang sopir yang tidak menerima uang pelanggannya secara penuh karena sadar kalau ia dalam posisi yang salah.
Ruang Publikasi
Ruang publikasi menjadi sangatlah penting bagi seorang penulis. Sebab, tulisan karyanya perlu media untuk disampaikan pada pembaca. Di Banyumas saat ini baru ada dua media untuk publikasi cerkak Banyumasan, yaitu majalah Ancas dipimpin Ahmad Tohari dan koran Satelit Post dipimpin Yon Daryono.
Ancas lebih dulu berdiri ketimbang Satelit Post, yaitu terhitung sejak 6 April 2010. Majalah itu merupakan majalah berbahasa Banyumas (ngapak). Setiap terbit pada salah satu rubriknya selalu memuat rubrik cerkak. Adapun Satelit Post berdiri 2012 lalu. Walaupun koran berbahasa Indonesia tapi Satelit Post pada setiap hari Minggu kadangkala memuat cerkak (berbahasa Banyumas) bergantian dengan cerpen (berbahasa Indonesia). Sesuai dengan slogannya “Korane Wong Ngapak”.
Selain kedua media di atas, grup Facebook Penamas (Penulis Muda Banyumas) juga ikut andil untuk menjembatani penulis cerkak mempublikasikan karyanya. Terbukti pada 2013 ini, Penamas yang diketuai Agus Pribadi akan menerbitkan kumpulan cerkak dengan tajuk Iwak Gendruwo yang memuat 24 cerkak dari 15 penulis berbeda usia dan profesi. Misalnya Agustav Triono yang menjadi guru di SMP 1 Mrebet Purbalingga, Yuliani Rakhmawati yang masih menjadi mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ki Ali yang menjadi tukang onthel selipan diesel di Karangtengah, Cilongok, dan lainnya.
Dengan adanya berbagai alat pendukung di atas, saya pribadi berharap cerkak Banyumasan dapat terus tumbuh dan berkembang di telatah Banyumas ini. Dengan begitu bahasa Banyumas akan tetap lestari dan terjaga dari gerusan arus modernisasi.(*)
Indra KS, lahir di desa Tanggeran, Banyumas, pada 5 Oktober 1989. Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Penulis Muda Banyumas (Penamas).

Jumat, 09 Agustus 2013

Penamas, Merindukan Kejayaan Penulis Muda Banyumas




Pada era 70-an, di Purwokerto, Banyumas, terdapat perkumpulan para penulis yang bernama Himpunan Penulis Muda (HPM) Banyumas.
Sebutlah sejumlah nama produk HPM yang menghiasai dunia kepenulisan dan dikenal khalayak luas, seperti Hindharyun NTS (wartawan Kompas), Darto Singa (seniman, penulis buku, dan ayah penyanyi Anggun C Sasmi) Darmadi (penyair), Herman Affandi (penyair), Hendrawan Nadesul (penyair yang berprofesi dokter), dan masih banyak lainnya.
Namun pada perkembangannya para “bintang” HPM banyak yang hijrah ke Jakarta. Sementara yang tetap tinggal di Purwokerto lebih memilih profesi lain, sehingga akhirnya sinar HPM pun redup. Dunia penulis di Banyumas surut, jika tak mau dikatakan mati.
Kini seiring dinamika kepenulisan yang kian marak dengan dukungan teknologi canggih, kejayaan penulis Banyumas ingin dibangkitkan. Tahun lalu, tepatnya 17 Agustus 2011, berdiri organisasi Penulis Muda Banyumas atau Penamas.
“Latar belakang didirikannya Penamas adalah kerinduan. Kerinduan kami atas kejayaan para penulis muda di Banyumas. Harapannya, Penamas akan melahirkan penulis muda berbakat yang bisa tampil di kancah nasional maupun internasional,” ujar Ketua Penamas Agus Pribadi kepada Warta Jateng baru-baru ini.
Anggota Komunitas Penamas kini berjumlah 114 orang, dengan beragam latar belakang profesi. Mulai dari mahasiswa, guru, dosen, pegawai negeri sipil (PNS), sastrawan, wartawan, pensiunan, pengusaha kuliner, seniman, hingga wiraswastawan.
Cerpen Cindaga
Guna menunjukkan eksistensinya, Minggu (16/9) lalu Penamas meluncurkan antologi cerpen berjudul Cindaga yang dikemas melalui silaturahmi keluarga besar Penamas. Acara ini berlangsung di Mercusi Cafe dan Resto, Jalan Raya Notog KM 13,4 Tambaknegara, Banyumas atau tidak jauh dari kompleks Bendung Gerak Serayu.
Di bawah rindangnya pohon pinus, acara berlangsung hidup, penuh interaksi tanya jawab di antara mereka yang hadir. Pengurus Penamas juga menghadirkan penulis senior Ronggo Sujali, dan Arif Hidayat (dosen muda) yang membedah Cindaga. Buku ini sendiri memuat 17 cerita pendek yang bertema sejarah Banyumas era 1940-an hingga saat ini. Buku tersebut ditulis oleh 14 Anggota Penamas, antara lain Agus Pribadi, Agustav Triono, Arie Sujali, Arif Dhiaksa, Arsyad Riyadi, Bunda Seno, dan Endah Tri Wahyu.
Agus Pribadi yang berprofesi sebagai guru IPA SMP Negeri 5 Mrebet, Purbalingga mengatakan, Cindaga merupakan antologi kedua yang diluncurkan Penamas. Sebelumnya, kelompok ini juga meluncurkan antologi cerpen Balada Seorang Lengger.
Ronggo Sujali menambahkan, saat ini Penamas mengasah kemampuan kepenulisan anggotanya dengan memberi ruang untuk menyampaikan karya mereka di situs jejaring sosial Facebook dengan akun grup Para Penulis Muda Banyumas.
“Bolehlah dibilang kami bersastra lewat Facebook. Kami juga mempublikasikan karya-karya lewat blog, selain buku tentunya,” ujar Ronggo Sujali (Prasetyo)

Sumber : Warta Jateng, 18 September 2012.