Selasa, 13 Agustus 2013

Geliat Cerkak di Banyumas



Oleh Indra KS (Suara Merdeka, 30 Juni 2013)
            Bahasa Banyumas merupakan salah satu fragmen bahasa Jawa yang khas, ngapak. Bahasa ini berasal dari bahasa Jawa kuno yang berkembang sejak zaman Majapahit. Sebagai salah satu kekayaan khazanah bangsa, bahasa Banyumas harus dilestarikan. Mengingat pentingnya hal tersebut, akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis cerita cekak (cerkak) Banyumasan. Misalnya Agus Pribadi, Darso Steel, Ki Ali, Hudaya Soemarno, Wal Waluyo, dan lain-lain.
Para penulis cerkak itu tentu saja telah memberikan sumbangsih terhadap kelestarian bahasa Banyumas. Selain itu, mereka juga sering mengangkat kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas. Misalnya seni buncis, ebeg, dan lain-lain. Selain kesenian juga terdapat berbagai representasi tokoh yang mewakili sifat cablaka yang merupakan salah satu identitas orang Banyumas.
Teguh Trianton (2013) mengatakan secara kontekstual cablaka maknanya serupa dengan blakasuta, yaitu berbicara blak-blakan atau tanpa tedeng aling-aling. Jadi dapat disimpulkan bahwa cablaka merupakan perilaku apa adanya tanpa dibuat-buat. Sebagai contoh terdapat pada cerkak “Kaki Talam Kurang Gaul” karya Wal Waluyo yang dimuat Satelit Post (Minggu, 24 Juni 2012).
Diceritakan Kaki Talam akan ke Jakarta untuk menjenguk cucunya yang baru lahir. Ia membawa beras, petai, lontong, dan mendoan dari rumah. Sebagai orang zaman dulu, tidak ketinggalan Kaki Talam memakai iket. Dalam perjalanan, di dalam bus Kaki Talam terdorong oleh penumpang lain dan iketnya jatuh lalu terinjak-injak.
Tanpa berpikir panjang Kaki Talam berteriak agar iketnya jangan diinjak. Tetapi penumpang yang disampingnya mengira kalau Kaki Talam minta diiket (diikat). Jadi cepat saja Kaki Talam diikat. Terus tongkat (teken) yang dibawa juga jatuh, lalu Kaki Talam berteriak lagi minta tolong tekennya. Penumpang bertubuh gendut di sampingnya juga salah tafsir kalau Kaki Talam minta diteken (ditekan). Orang itu pun menekan Kaki Talam dengan tubuhnya.
Dari cerkak tersebut terlihat jelas representasi kaki Talam yang bersikap cablaka atau bersikap apa adanya sebagai salah satu ciri orang Banyumas. Dengan keluguannya Kaki Talam berangkat tanpa meninggalkan kebiasaannya yang dilakukan orang Banyumas yaitu kalau bepergian selalu membawa bekal dan membawa oleh-oleh dari rumah yang berupa hasil panen.
Selain cablaka, orang Banyumas juga mudah memaafkan. Sebagai contoh digambarkan pada cerkak “Diskon Nunggang Taksi” karya Hudaya Soemarmo yang dimuat dalam Satelit Post (20 Mei 2012). Diceritakan tokoh Inyong yang naik taksi tertidur, tanpa diduga tujuan yang dikehendaki telah terlewati saat terbangun.
Tokoh inyong pun memaafkan karena sopir taksi tersebut memang belum begitu hafal daerah tersebut. Dengan tidak sombong tokoh Inyong pun menjadi penunjuk jalan. Dan tanpa diduga sopir taksi tersebut juga orang dari tanah ngapak, tepatnya orang Cilacap.
Setelah sama-sama mengetahui dari satu daerah, mereka malah menjadi akrab dan yang tadinya menggunakan bahasa Indonesia sekarang beralih ke bahasa ngapak. Setelah sampai pada alamat yang dituju sopir tersebut tidak mau dibayar secara penuh, tetapi mengembalikan sebagian uang yang diberikan tokoh Inyong.
Dari jalan cerita cerkak tersebut digambarkan kalau orang Banyumas mudah memaafkan kesalahan orang lain. Tentunya dalam keadaan yang masih wajar untuk diberikan maaf. Selain itu, pada cerkak tersebut juga digambarkan bahwa orang Banyumas tidak serakah. Itu dibuktikan pada sang sopir yang tidak menerima uang pelanggannya secara penuh karena sadar kalau ia dalam posisi yang salah.
Ruang Publikasi
Ruang publikasi menjadi sangatlah penting bagi seorang penulis. Sebab, tulisan karyanya perlu media untuk disampaikan pada pembaca. Di Banyumas saat ini baru ada dua media untuk publikasi cerkak Banyumasan, yaitu majalah Ancas dipimpin Ahmad Tohari dan koran Satelit Post dipimpin Yon Daryono.
Ancas lebih dulu berdiri ketimbang Satelit Post, yaitu terhitung sejak 6 April 2010. Majalah itu merupakan majalah berbahasa Banyumas (ngapak). Setiap terbit pada salah satu rubriknya selalu memuat rubrik cerkak. Adapun Satelit Post berdiri 2012 lalu. Walaupun koran berbahasa Indonesia tapi Satelit Post pada setiap hari Minggu kadangkala memuat cerkak (berbahasa Banyumas) bergantian dengan cerpen (berbahasa Indonesia). Sesuai dengan slogannya “Korane Wong Ngapak”.
Selain kedua media di atas, grup Facebook Penamas (Penulis Muda Banyumas) juga ikut andil untuk menjembatani penulis cerkak mempublikasikan karyanya. Terbukti pada 2013 ini, Penamas yang diketuai Agus Pribadi akan menerbitkan kumpulan cerkak dengan tajuk Iwak Gendruwo yang memuat 24 cerkak dari 15 penulis berbeda usia dan profesi. Misalnya Agustav Triono yang menjadi guru di SMP 1 Mrebet Purbalingga, Yuliani Rakhmawati yang masih menjadi mahasiswi di Universitas Muhammadiyah Purwokerto, Ki Ali yang menjadi tukang onthel selipan diesel di Karangtengah, Cilongok, dan lainnya.
Dengan adanya berbagai alat pendukung di atas, saya pribadi berharap cerkak Banyumasan dapat terus tumbuh dan berkembang di telatah Banyumas ini. Dengan begitu bahasa Banyumas akan tetap lestari dan terjaga dari gerusan arus modernisasi.(*)
Indra KS, lahir di desa Tanggeran, Banyumas, pada 5 Oktober 1989. Bergiat di Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Penulis Muda Banyumas (Penamas).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar