Oleh
Indra KS (Suara Merdeka, 30 Juni 2013)
Bahasa
Banyumas merupakan salah satu fragmen bahasa Jawa yang khas, ngapak. Bahasa ini
berasal dari bahasa Jawa kuno yang berkembang sejak zaman Majapahit. Sebagai
salah satu kekayaan khazanah bangsa, bahasa Banyumas harus dilestarikan.
Mengingat pentingnya hal tersebut, akhir-akhir ini banyak bermunculan penulis
cerita cekak (cerkak) Banyumasan. Misalnya Agus Pribadi, Darso Steel, Ki Ali,
Hudaya Soemarno, Wal Waluyo, dan lain-lain.
Para
penulis cerkak itu tentu saja telah memberikan sumbangsih terhadap kelestarian
bahasa Banyumas. Selain itu, mereka juga sering mengangkat kearifan lokal dan
nilai-nilai luhur yang terkandung dalam budaya Banyumas. Misalnya seni buncis,
ebeg, dan lain-lain. Selain kesenian juga terdapat berbagai representasi tokoh
yang mewakili sifat cablaka yang
merupakan salah satu identitas orang Banyumas.
Teguh
Trianton (2013) mengatakan secara kontekstual cablaka maknanya serupa dengan blakasuta,
yaitu berbicara blak-blakan atau tanpa tedeng aling-aling. Jadi dapat
disimpulkan bahwa cablaka merupakan
perilaku apa adanya tanpa dibuat-buat. Sebagai contoh terdapat pada cerkak “Kaki
Talam Kurang Gaul” karya Wal Waluyo yang dimuat Satelit Post (Minggu, 24 Juni
2012).
Diceritakan
Kaki Talam akan ke Jakarta untuk menjenguk cucunya yang baru lahir. Ia membawa
beras, petai, lontong, dan mendoan dari rumah. Sebagai orang zaman dulu, tidak
ketinggalan Kaki Talam memakai iket. Dalam perjalanan, di dalam bus Kaki Talam
terdorong oleh penumpang lain dan iketnya jatuh lalu terinjak-injak.
Tanpa
berpikir panjang Kaki Talam berteriak agar iketnya jangan diinjak. Tetapi
penumpang yang disampingnya mengira kalau Kaki Talam minta diiket (diikat).
Jadi cepat saja Kaki Talam diikat. Terus tongkat (teken) yang dibawa juga
jatuh, lalu Kaki Talam berteriak lagi minta tolong tekennya. Penumpang bertubuh
gendut di sampingnya juga salah tafsir kalau Kaki Talam minta diteken
(ditekan). Orang itu pun menekan Kaki Talam dengan tubuhnya.
Dari
cerkak tersebut terlihat jelas representasi kaki Talam yang bersikap cablaka
atau bersikap apa adanya sebagai salah satu ciri orang Banyumas. Dengan
keluguannya Kaki Talam berangkat tanpa meninggalkan kebiasaannya yang dilakukan
orang Banyumas yaitu kalau bepergian selalu membawa bekal dan membawa oleh-oleh
dari rumah yang berupa hasil panen.
Selain
cablaka, orang Banyumas juga mudah
memaafkan. Sebagai contoh digambarkan pada cerkak “Diskon Nunggang Taksi” karya
Hudaya Soemarmo yang dimuat dalam Satelit Post (20 Mei 2012). Diceritakan tokoh
Inyong yang naik taksi tertidur, tanpa diduga tujuan yang dikehendaki telah
terlewati saat terbangun.
Tokoh
inyong pun memaafkan karena sopir taksi tersebut memang belum begitu hafal
daerah tersebut. Dengan tidak sombong tokoh Inyong pun menjadi penunjuk jalan.
Dan tanpa diduga sopir taksi tersebut juga orang dari tanah ngapak, tepatnya orang Cilacap.
Setelah
sama-sama mengetahui dari satu daerah, mereka malah menjadi akrab dan yang
tadinya menggunakan bahasa Indonesia sekarang beralih ke bahasa ngapak. Setelah sampai pada alamat yang
dituju sopir tersebut tidak mau dibayar secara penuh, tetapi mengembalikan
sebagian uang yang diberikan tokoh Inyong.
Dari
jalan cerita cerkak tersebut digambarkan kalau orang Banyumas mudah memaafkan
kesalahan orang lain. Tentunya dalam keadaan yang masih wajar untuk diberikan
maaf. Selain itu, pada cerkak tersebut juga digambarkan bahwa orang Banyumas
tidak serakah. Itu dibuktikan pada sang sopir yang tidak menerima uang
pelanggannya secara penuh karena sadar kalau ia dalam posisi yang salah.
Ruang
Publikasi
Ruang
publikasi menjadi sangatlah penting bagi seorang penulis. Sebab, tulisan
karyanya perlu media untuk disampaikan pada pembaca. Di Banyumas saat ini baru
ada dua media untuk publikasi cerkak Banyumasan, yaitu majalah Ancas dipimpin Ahmad Tohari dan koran Satelit Post dipimpin Yon Daryono.
Ancas
lebih dulu berdiri ketimbang Satelit Post,
yaitu terhitung sejak 6 April 2010. Majalah itu merupakan majalah berbahasa
Banyumas (ngapak). Setiap terbit pada salah satu rubriknya selalu memuat rubrik
cerkak. Adapun Satelit Post berdiri
2012 lalu. Walaupun koran berbahasa Indonesia tapi Satelit Post pada setiap hari Minggu kadangkala memuat cerkak
(berbahasa Banyumas) bergantian dengan cerpen (berbahasa Indonesia). Sesuai
dengan slogannya “Korane Wong Ngapak”.
Selain
kedua media di atas, grup Facebook Penamas (Penulis Muda Banyumas) juga ikut
andil untuk menjembatani penulis cerkak mempublikasikan karyanya. Terbukti pada
2013 ini, Penamas yang diketuai Agus Pribadi akan menerbitkan kumpulan cerkak
dengan tajuk Iwak Gendruwo yang memuat 24 cerkak dari 15 penulis berbeda usia
dan profesi. Misalnya Agustav Triono yang menjadi guru di SMP 1 Mrebet
Purbalingga, Yuliani Rakhmawati yang masih menjadi mahasiswi di Universitas
Muhammadiyah Purwokerto, Ki Ali yang menjadi tukang onthel selipan diesel di
Karangtengah, Cilongok, dan lainnya.
Dengan
adanya berbagai alat pendukung di atas, saya pribadi berharap cerkak Banyumasan
dapat terus tumbuh dan berkembang di telatah Banyumas ini. Dengan begitu bahasa
Banyumas akan tetap lestari dan terjaga dari gerusan arus modernisasi.(*)
Indra
KS, lahir di desa Tanggeran, Banyumas, pada 5 Oktober 1989. Bergiat di
Komunitas Penyair Institute (KPI) dan Penulis Muda Banyumas (Penamas).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar