Cerpen
Agus Pribadi (Tabloid Cempaka, 17-23 Mei 2014)
Perempuan
tua itu mengayunkan kakinya pelan. Seperti sedang menghitungnya. Mengelilingi
halaman rumah. Memunguti ranting-ranting pohon rambutan yang mulai lapuk
dimakan usia. Pandangannya selalu tertuju ke bawah karena memang posisi
tubuhnnya kini membuatnya demikian. Punggung dan kakinya membentuk sudut 90
derajat.
Orang-orang
yang melintas di depan rumahnya kerap melihatnya sedang berjalan memunguti
ranting-ranting kering.
“Wah
kasihan, nenek itu jalannya terbungkuk-bungkuk.” Gumam mereka.
Ia
menghentikan langkahnya saat punggungnya terasa nyeri. Ia duduk di bawah pohon
rambutan yang paling besar dan paling tua. Pohon peninggalan suaminya. Beristirahat
sejenak, meski ia masih melihat banyak ranting yang berserakan di hadapannya.
Ia akan melanjutkannya nanti saat nyeri di punggungnya sedikit reda.
Memungut
ranting-ranting merupakan pekerjaan yang paling mungkin dilakukannya saat ini.
Daun-daun tanaman sirih yang mulai menua di belakang rumah tak dipetiknya.
Genting yang telah lama bocor di atap dapur tak ada yang menyentuhnya. Lumut-lumut
yang tumbuh di dinding bagian belakang rumah dibiarkannya menghijau dan semakin
meninggi, tak ada yang membersihkannya. Bentuk tubuhnya tak memungkinkannya
lagi untuk melakukan semua pekerjaan itu dengan leluasa.
Pandangannya
tertuju pada sebatang ranting yang bentuknya paling berbeda dengan
ranting-ranting lainnya. Melihat sebatang ranting bengkok di depannya, ia
seperti sedang melihat dirinya sendiri. Suaminya telah lama dipanggil Yang
Kuasa. Anak-anaknya tinggal di rumahnya masing-masing di luar kota dan luar
negeri. Lengkap sudah ia bercumbu dengan kesendirian. Ia lelap dalam buaian
kenangan masa lalu.
Dulu
ia bagaikan tumbuhan segar yang sedang mekar. Bunga-bunga di tubuhnya
mengundang kumbang-kumbang untuk mendekatinya. Ia tinggal memilih kumbang mana
yang boleh mengisap madunya.
Puluhan
pemuda datang menemuinya untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun satu persatu
ditolaknya.
Pertama
seorang pemuda lugu dan sederhana datang padanya dengan sepeda motor butut. Ia
pulang dengan tangan hampa.
“Aku
kan malu kalau jalan-jalan dengan sepeda motor butut milikmu itu,” ucap gadis
itu ketus, dengan kepala mendongak ke atas.
Pemuda
berikutnya datang dengan sepeda motor bebek baru. Namun ia juga harus kembali
pulang dengan tangan hampa.
“Memang
kendaraanmu baru, tapi aku hanya suka dengan kendaraan yang beroda empat,”
ucapnya dengan kepala juga mendongak ke atas.
Demikian
para pemuda silih berganti datang padanya. Ada yang dengan sepeda motor balap,
mobil berbagai tipe, semuanya ditolaknya. Dengan posisi kepala yang sama.
Mendongak ke atas.
Sampai
datanglah seorang pemuda yang kelak menjadi suaminya. Pemuda itu datang dengan
membawa mobil mewah mengkilap.
“Kau
lah pemuda pilihanku. Di kota sebesar ini sangat cocok jalan-jalan berdua
denganmu di dalam mobil mewah,” ucapnya dengan posisi kepala seperti biasanya.
Gadis
itu pun menikah dengan pemuda pilihannya. Di pelaminanpun kepalanya mendongak
ke atas seperti tak mau mengenali bumi. Suaminya adalah seorang pejabat penting
di kota itu. Tamu-tamu yang hadir dalam pernikahannya datang dari berbagai
kalangan. Dari artis, pengusaha, tokoh politik, seniman, budayawan, dan banyak
tokoh penting lainnya.
Si
suami yang pejabat penting itu memanjakannya dengan gelimang kemewahan materi.
Rumah mewah, mobil mewah, perhiasan mewah, dan rekening gendut. Semua menjadi
miliknya. Meskipun ia tahu, pekerjaan suaminya tak mungkin menghasilkan harta
dan uang sebanyak itu. Tapi ia tak peduli. Baginya, persetan dengan semua itu.
Yang penting ia selalu bisa mendongak ke langit, menunjukkan pada semua orang
bahwa ia seorang yang kaya raya.
Ia
tak peduli dan tak pernah mau peduli dari mana harta dan uang yang berlimpah
ruah yang didapat suaminya. Ia hanya tahu, anak-anaknya telah sukses berkat
dukungan uang dari suaminya. Ada yang menjadi pengusaha di luar negeri. Ada
yang menjadi dokter, dosen, dan pengacara.
Sampai
datanglah bencana bagi gadis yang sudah menjadi perempuan dewasa itu. Bencana
yang tak kalah dahsyatnya dengan gelombang tsunami yang meluluh lantakan apapun
yang ada dihadapannya. Suaminya ditangkap petugas pemberantas korupsi di kota
itu. Harta dan uang yang menjadi kebanggaannya selama ini disita oleh petugas
itu. Suaminya mendekam di dalam jeruji
besi selama bertahun-tahun.
Gadis
itu yang telah menjadi perempuan tua dengan sabar menanti suaminya keluar dari jeruji
besi. Setelah kebebasan suaminya, ia memilih mengajak suaminya untuk tinggal di
sebuah kampung yang jauh dari keramaian kota. Kampung di mana perempuan itu
dilahirkan. Kampung dengan udara yang sejuk, dengan penduduk yang masih lugu
apa adanya.
Hanya
beberapa tahun suaminya mampu bertahan hidup di rumah yang baru. Rumah yang
sangat sederhana jika dibandingkan rumahnya yang dulu. Beberapa tahun itu
diisinya dengan menanam berbagai tanaman di sekitar rumah. Pohon rambutan,
pohon jeruk, pohon mangga, dan berbagai jenis lainnya ditanamnya untuk mengisi
hari-hari yang dilaluinya. Suaminya meninggal setelah serangan stroke yang
datang tiba-tiba.
Selepas
kepergian suaminya, ia tinggal seorang diri di rumah sederhananya. Anak-anaknya
hanya setahun sekali menemuinya. Itu pun tidak pasti, terkadang dua atau tiga
tahun mereka baru sempat menemuinya. Ia terbiasa mengerjakan pekerjaan rumahnya
sendiri. Memetik daun sirih, memperbaiki genting yang bocor, mengecat tembok,
dan pekerjaan lainnya tak pernah diserahkannya pada orang lain.
Tahun
demi tahun, perlahan punggungnya semakin membengkok. Kifosis dideritanya, hingga posisi punggungnya membentuk sudut 90
derajat dengan kakinya.
Azan
Ashar dari Masjid di ujung kampung membuat lamunannya menguap begitu saja. Perempuan
bungkuk itu berusaha bangun dari duduknya. Dengan susah payah ia mencoba
menegakkan kakinya. Berhasil. Namun ia tak mampu lagi mengangkat punggungnya
tinggi-tinggi. Bahkan kini hanya membentuk sudut yang lebih kecil dari 90
derajat. Wajahnya kini semakin dekat dengan tanah, seperti akan diciumnya tanah
itu. Sesuatu yang dulu tak pernah ia inginkan. Ia berjalan, namun baru beberapa
langkah ia tersungkur. Hidungnya mencium tanah. Kedua telapak tangannya menumpu
pada tanah. Ia berada dalam posisi seperti sedang sujud. Ia tak mau memindah
posisinya itu. Hanya air matanya yang berlinang membasahi tanah. Ia mengadu dan
memohon ampun pada Tuhan. Ditumpahkannya semua beban yang dideritanya. Beban
kerinduan untuk melihat kerlip bintang di langit yang dipendamnya
bertahun-tahun. Ranting yang bengkok telah patah tertindih lututnya.(*)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar