Kamis, 22 Mei 2014

Perempuan Tua yang Selalu Memandang ke Bawah



Cerpen Agus Pribadi (Tabloid Cempaka, 17-23 Mei 2014)

Perempuan tua itu mengayunkan kakinya pelan. Seperti sedang menghitungnya. Mengelilingi halaman rumah. Memunguti ranting-ranting pohon rambutan yang mulai lapuk dimakan usia. Pandangannya selalu tertuju ke bawah karena memang posisi tubuhnnya kini membuatnya demikian. Punggung dan kakinya membentuk sudut 90 derajat.
Orang-orang yang melintas di depan rumahnya kerap melihatnya sedang berjalan memunguti ranting-ranting kering.
“Wah kasihan, nenek itu jalannya terbungkuk-bungkuk.” Gumam mereka.
Ia menghentikan langkahnya saat punggungnya terasa nyeri. Ia duduk di bawah pohon rambutan yang paling besar dan paling tua. Pohon peninggalan suaminya. Beristirahat sejenak, meski ia masih melihat banyak ranting yang berserakan di hadapannya. Ia akan melanjutkannya nanti saat nyeri di punggungnya sedikit reda.
Memungut ranting-ranting merupakan pekerjaan yang paling mungkin dilakukannya saat ini. Daun-daun tanaman sirih yang mulai menua di belakang rumah tak dipetiknya. Genting yang telah lama bocor di atap dapur tak ada yang menyentuhnya. Lumut-lumut yang tumbuh di dinding bagian belakang rumah dibiarkannya menghijau dan semakin meninggi, tak ada yang membersihkannya. Bentuk tubuhnya tak memungkinkannya lagi untuk melakukan semua pekerjaan itu dengan leluasa.
Pandangannya tertuju pada sebatang ranting yang bentuknya paling berbeda dengan ranting-ranting lainnya. Melihat sebatang ranting bengkok di depannya, ia seperti sedang melihat dirinya sendiri. Suaminya telah lama dipanggil Yang Kuasa. Anak-anaknya tinggal di rumahnya masing-masing di luar kota dan luar negeri. Lengkap sudah ia bercumbu dengan kesendirian. Ia lelap dalam buaian kenangan masa lalu.
Dulu ia bagaikan tumbuhan segar yang sedang mekar. Bunga-bunga di tubuhnya mengundang kumbang-kumbang untuk mendekatinya. Ia tinggal memilih kumbang mana yang boleh mengisap madunya.
Puluhan pemuda datang menemuinya untuk mengungkapkan isi hatinya. Namun satu persatu ditolaknya.
Pertama seorang pemuda lugu dan sederhana datang padanya dengan sepeda motor butut. Ia pulang dengan tangan hampa.
“Aku kan malu kalau jalan-jalan dengan sepeda motor butut milikmu itu,” ucap gadis itu ketus, dengan kepala mendongak ke atas.
Pemuda berikutnya datang dengan sepeda motor bebek baru. Namun ia juga harus kembali pulang dengan tangan hampa.
“Memang kendaraanmu baru, tapi aku hanya suka dengan kendaraan yang beroda empat,” ucapnya dengan kepala juga mendongak ke atas.
Demikian para pemuda silih berganti datang padanya. Ada yang dengan sepeda motor balap, mobil berbagai tipe, semuanya ditolaknya. Dengan posisi kepala yang sama. Mendongak ke atas.
Sampai datanglah seorang pemuda yang kelak menjadi suaminya. Pemuda itu datang dengan membawa mobil mewah mengkilap.
“Kau lah pemuda pilihanku. Di kota sebesar ini sangat cocok jalan-jalan berdua denganmu di dalam mobil mewah,” ucapnya dengan posisi kepala seperti biasanya.
Gadis itu pun menikah dengan pemuda pilihannya. Di pelaminanpun kepalanya mendongak ke atas seperti tak mau mengenali bumi. Suaminya adalah seorang pejabat penting di kota itu. Tamu-tamu yang hadir dalam pernikahannya datang dari berbagai kalangan. Dari artis, pengusaha, tokoh politik, seniman, budayawan, dan banyak tokoh penting lainnya.
Si suami yang pejabat penting itu memanjakannya dengan gelimang kemewahan materi. Rumah mewah, mobil mewah, perhiasan mewah, dan rekening gendut. Semua menjadi miliknya. Meskipun ia tahu, pekerjaan suaminya tak mungkin menghasilkan harta dan uang sebanyak itu. Tapi ia tak peduli. Baginya, persetan dengan semua itu. Yang penting ia selalu bisa mendongak ke langit, menunjukkan pada semua orang bahwa ia seorang yang kaya raya.
Ia tak peduli dan tak pernah mau peduli dari mana harta dan uang yang berlimpah ruah yang didapat suaminya. Ia hanya tahu, anak-anaknya telah sukses berkat dukungan uang dari suaminya. Ada yang menjadi pengusaha di luar negeri. Ada yang menjadi dokter, dosen, dan pengacara.
Sampai datanglah bencana bagi gadis yang sudah menjadi perempuan dewasa itu. Bencana yang tak kalah dahsyatnya dengan gelombang tsunami yang meluluh lantakan apapun yang ada dihadapannya. Suaminya ditangkap petugas pemberantas korupsi di kota itu. Harta dan uang yang menjadi kebanggaannya selama ini disita oleh petugas itu. Suaminya mendekam di dalam  jeruji besi selama bertahun-tahun.
Gadis itu yang telah menjadi perempuan tua dengan sabar menanti suaminya keluar dari jeruji besi. Setelah kebebasan suaminya, ia memilih mengajak suaminya untuk tinggal di sebuah kampung yang jauh dari keramaian kota. Kampung di mana perempuan itu dilahirkan. Kampung dengan udara yang sejuk, dengan penduduk yang masih lugu apa adanya.
Hanya beberapa tahun suaminya mampu bertahan hidup di rumah yang baru. Rumah yang sangat sederhana jika dibandingkan rumahnya yang dulu. Beberapa tahun itu diisinya dengan menanam berbagai tanaman di sekitar rumah. Pohon rambutan, pohon jeruk, pohon mangga, dan berbagai jenis lainnya ditanamnya untuk mengisi hari-hari yang dilaluinya. Suaminya meninggal setelah serangan stroke yang datang tiba-tiba.
Selepas kepergian suaminya, ia tinggal seorang diri di rumah sederhananya. Anak-anaknya hanya setahun sekali menemuinya. Itu pun tidak pasti, terkadang dua atau tiga tahun mereka baru sempat menemuinya. Ia terbiasa mengerjakan pekerjaan rumahnya sendiri. Memetik daun sirih, memperbaiki genting yang bocor, mengecat tembok, dan pekerjaan lainnya tak pernah diserahkannya pada orang lain.
Tahun demi tahun, perlahan punggungnya semakin membengkok. Kifosis dideritanya, hingga posisi punggungnya membentuk sudut 90 derajat dengan kakinya.
Azan Ashar dari Masjid di ujung kampung membuat lamunannya menguap begitu saja. Perempuan bungkuk itu berusaha bangun dari duduknya. Dengan susah payah ia mencoba menegakkan kakinya. Berhasil. Namun ia tak mampu lagi mengangkat punggungnya tinggi-tinggi. Bahkan kini hanya membentuk sudut yang lebih kecil dari 90 derajat. Wajahnya kini semakin dekat dengan tanah, seperti akan diciumnya tanah itu. Sesuatu yang dulu tak pernah ia inginkan. Ia berjalan, namun baru beberapa langkah ia tersungkur. Hidungnya mencium tanah. Kedua telapak tangannya menumpu pada tanah. Ia berada dalam posisi seperti sedang sujud. Ia tak mau memindah posisinya itu. Hanya air matanya yang berlinang membasahi tanah. Ia mengadu dan memohon ampun pada Tuhan. Ditumpahkannya semua beban yang dideritanya. Beban kerinduan untuk melihat kerlip bintang di langit yang dipendamnya bertahun-tahun. Ranting yang bengkok telah patah tertindih lututnya.(*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar