Cerpen Agus Pribadi
Bagian satu.
Pria muda tampan itu sudah menjadi langganan setia warungku. Aku sangat suka jika dia datang dan membeli kebutuhan sehari-hari. Pagi ini pria yang bernama Seto itu datang ke warungku.
“Nek Ijah, aku beli sampo untuk keramas Seti istriku. Sabun mandi, pasta gigi, dan beras satu kilogram,” kata Seto sesampai di warungku.
“Oh ya, sebentar ya,” jawabku sambil bergegas mengambil barang-barang pesanannya.
“Kayaknya kamu setia banget dengan istrimu?” Tanyaku sambil memberikan pesanannya.
“Iya Nek. Aku kan suaminya,” sahut Seto sambil menerima pesanannya dan memberikan uang padaku.
“Ini kembaliannya. Ngomong-ngomong istrimu kok gak pernah diajak belanja ke sini?” ucapku.
“ Kembaliannya buat nenek saja. Istriku di rumah saja kok Nek,”sahut Seto.
“Terima kasih ya. Ooo...,” jawabku.
Kemudian Seto bercerita tentang awal pertemuannya dengan Seti istri yang sangat dicintainya. Aku mendengarnya dengan serius.
Seto dan Seti sama-sama teman kuliah. Mereka menjadi idola di kampusnya. Banyak gadis yang ingin mendapatkan cinta Seto. Banyak pula pemuda yang ingin mendapatkan cinta Seti. Tapi cinta mereka berdua tak dapat dipisahkan.
Mereka pun menikah setelah sama-sama menyelesaikan kuliahnya. Seto bekerja di sebuah perusahaan swasta. Sementara Seti menjadi ibu rumahtangga biasa. Mereka telah berjanji untuk sehidup semati. Walau apapun yang terjadi akan tetap saling setia. Mereka sangat menggemari lagu Setia yang dinyanyikan Group Band Jikustik.
Sebenarnya orangtua Seto yang kaya raya tidak setuju mempunyai menantu Seti yang berasal dari keluarga biasa. Tapi mereka berdua tetap setia. Sampai akhirnya mereka meninggalkan ibukota dan menetap di kampung ini.
Kemudian terjadi kecelakaan hebat. Ketika mereka berdua menaiki sepeda motor di jalan utama kampung ini. Dari arah berlawanan terdapat mobil yang melaju kencang. Tapi Seto tidak melanjutkan ceritanya. Ia hanya menawariku untuk bermain ke rumahnya agar bisa bertemu dengan Seti istrinya.
***
Di hari yang lain. Setelah Seto berbelanja di warungku. Aku mengikuti Seto ke rumahnya. Ternyata rumahnya cukup jauh dari warungku. Melewati pematang sawah. Kemudian melewati sebuah kebun yang ditumbuhi pepohonan rimbun. Terlihatlah sebuah rumah milik Seto yang berdiri sendiri tanpa ada rumah lainnya.
Dengan langkah ragu, jantung dag-dig-dug aku memasuki rumahnya yang kelihatan kurang terurus. Daun-daun kering nampak berserakan di halaman. Debu-debu menempel di jendela dan kaca rumahnya. Jaring laba-laba menghiasi ventilasi rumahnya.
Derik pintu terdengar dibuka oleh Seto. Aku pun mengikutinya. Memasuki sebuah kamar yang gelap. Hanya diterangi oleh lilin. Temaram kamar membuat bulu kudukku berdiri. Dari kamar itu terdengar lagu lirih yang dinyanyikan Group Band Jikustik : ...sesaat malam datang menjemput kesendirianku, dan bila pagi datang kutahu kau tak di sampingku, aku masih di sini untuk setia....
“Sayang, ini ada Nek Ijah. Katanya ingin ketemu kamu?” tanya Seto sambil menyingkap selimut yang menutupi tubuh dan wajah istrinya. Nampaklah wajah istrinya. Jantungku sesaat terasa berhenti. Wajah cantik sesosok mayat tanpa ekspresi. Sementara tempat nasi, sabun, sampo, sikat gigi, pasta gigi, dan barang-barang lainnya berserakan di kamar itu.
“Sayang, bangunlah. Aku sudah lama menunggumu. Kamu jangan tidur terus,” kata Seto sambil mengguncang tubuh mayat itu. Seto sudah tidak menghiraukan keberadaanku lagi.
Terdengar Seto meraung, “ Sayang, kamu kan sudah berjanji untuk selalu menemani hidupku. Bangunlah. Nanti kita jalan-jalan lagi ke tempat-tempat terindah di muka bumi ini.”
Sesaat aku mematung. Tubuhku menjadi kaku. Namun akhirnya aku mampu berlari tunggang langgang meninggalkan rumah itu. Kepalaku membentur pintu, sandal jepitku putus dan aku jatuh terjerembab di halaman rumahnya karena kain kebaya yang kupakai terinjak kakiku sendiri. Aku bangkit, dan terus berlari sejauh-jauhnya dari rumah itu.
***
Esok harinya. Seto tidak nampak. Aku yakin Seto masih berada di rumahnya. Aku sudah meminta bantuan Pak Kyai untuk membantu Seto terlepas dari masalahnya. Warungku kututup, aku dan Pak Kyai bergegas menuju rumah Seto.
Sesampai di rumah Seto, Pak Kyai memberi nasihat-nasihat agama. Seto hanya terdiam. Pak Kyai membujuknya agar mau menguburkan jenazah istrinya. Akhirnya Seto pun tersadar. Hari itu juga jenazah istrinya di makamkan dengan bantuan penduduk sekitar.
***
“Nek, beli sampo dan sabun,” suara itu sangat ku kenal. Mataku terbelalak. Terkaget dari dudukku di dalam warung.
“Jangan takut Nek. Sampo itu untuk aku sendiri,” kata Seto.
“Nek,...?”
“Ada apa?”
Aku ingin melamarmu?”
“Jangan kurang ajar?”
“Aku serius.” Aku hanya bisa melongo. Aku memang seorang janda. Suamiku telah meninggal dunia lima tahun yang lalu. Kata orang-orang wajahku masih kelihatan cantik dan tubuhku masih menarik.
Bagian dua.
Seperti seekor ular, aku merasa seperti telah berganti kulit. Dari seorang nenek menjadi seorang gadis jelita. Semua itu terjadi sejak aku menikah degan Seto. Ya Seto pria tampan langganan warungku. Dia menikahiku setelah istrinya meninggal karena kecelakaan.
Aku punya hobi baru. Bersolek. Ketika berdandan di depan cermin aku melihat diriku seperti melihat seorang gadis umur tujuh belas tahun. Pantas saja Seto bertekuk lutut di depanku. Aku mirip Yurike Prastiska. Batinku. Aku pun terkekeh sendiri. Mengamati keriput-keriput di wajahku yang kian nampak. Meski paras cantikku masih jelas.
Seto suamiku kini bekerja sebagai petani. Juga memiliki lima buah kolam ikan. Ayahnya dari Jakarta yang memberinya modal. Sekaligus menambah modal warungku sehingga menjadi lebih lengkap.
Rumah Seto sudah dibongkar. Sekarang Seto ikut denganku. Tinggal di rumahku yang berada di belakang warungku.
Di kampung ini rumah-rumah masih jarang dan berjauhan. Masih banyak terdapat tanah pekarangan yang kosong. Harga tanah pun masih relatif murah. Aku masih punya tanah yang cukup luas peninggalan almarhum suamiku. Jamilah, anakku satu-satunya sudah diboyong suaminya menetap di luar Jawa.
Rahasiaku awet muda, mungkin karena aku suka makan sayur mayur dan buah-buahan. Kebetulan aku juga tidak suka makan daging.
***
Kebahagiaanku dengan suamiku tidak berlangsung lama. Suamiku sering bermimpi buruk. Ia sering didatangi almarhum Seti mantan istri pertamanya. Meski hanya dalam mimpi, tapi suamiku merasakannya seperti nyata. Seto sering menangis, tertawa dan berbicara sendiri dalam tidurnya.
“Seti, untuk apa kamu datang lagi, dunia kita sudah berbeda. Pergilah!” seru Seto suatu malam dalam tidurnya.
“Aku sudah menikah dengan Nek Ijah. Aku bahagia sekarang. Jangan ganggu aku!” Kemudian Seto menangis sesunggukkan. Aku hanya bisa menghiburnya.
“Istighfar Mas.”
“Astaghfirullahal’adzim...”
Aku sudah minta tolong pak Kyai untuk memberikan nasihat-nasihat agama lagi pada suamiku. Dan hasilnya lumayan. Suamiku sudah jarang mimpi buruk lagi.
***
Baru beberapa hari rumah tanggaku tenang. Aku dan suamiku dikejutkan sebuah kabar yang berhembus seperti angin yang menerpa seluruh kampung. Menurut kabar entah dari siapa sering ada penampakan di setiap malam Jumat. Penampakkan sosok Seti yang sudah meninggal. Sosok Seti dikabarkan sering muncul di sekitar kolam ikan milik suamiku. Kebetulan kuburan Seti pun berada di dekat kolam-kolam ikan milik suamiku. Maka setiap malam Jumat, jalan desa yang melewati kolam-kolam ikan milik suamiku menjadi sangat sepi. Tak ada yang berani melintas. Hanya suara katak yang berbunyi. Teot teblung..teot teblung..teot teot..teblung! Juga suara burung hantu. Kuk..kuk..kuk...Menambah suasana semakin sunyi.
Pak Kyai sudah mengingatkan pada warga kampung untuk tidak ada yang takut. Tapi tetap saja tidak ada yang berani keluar malam Jumat, terutama melewati kolam-kolam ikan milik suamiku.
***
“Cepat bawa ikan-ikan itu! Sembunyikan di balik pohon. Nanti kita jual ke pasar desa seberang!” kata seorang bertubuh tinggi pada dua temannya di suatu pagi buta.
“ha..ha..ha, warga kampung ternyata termakan omonganku. Aku akan kaya mendadak dengan menjual ikan-ikan ini. Sebentar lagi lebaran. Harga ikan sedang mahal. Ha..ha..ha,” orang bertubuh tinggi itu tertawa. Sementara dua temannya sibuk membawa ikan-ikan curiannya dengan ember-ember besar.
Tiba-tiba tawa lelaki tinggi itu dihentikan oleh suara bentakan yang keras.
“Menyerahlah kalian: Jangkung, Gentong, dan Kendi! Kalian sudah di kepung!” teriak pak Kyai. Para warga kampung mengitari tiga pencuri itu sudah siap dengan golok, pentungan, batu dan lainnya. Aku dan suamiku juga ikut mengepung.
Kami siap menyerbu. Menghajar para pencuri itu.
Bagian Tiga
Ketiga Pencuri itu akhirnya menyerah dan mengembalikan ikan-ikan itu ke tempatnya semula. Sebelum orang-orang kampung menyerbu, mengeroyok dan meremukkan tubuh mereka. Kharisma Pak Kyai mampu meredam amarah warga. Ketiga pencuri itu digelandang ke balaidesa oleh petugas keamanan desa untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sementara para warga membubarkan diri. Pulang ke rumah mereka masing-masing. Kami berpisah di pertigaan tegalan sawah. Hanya aku dan suamiku yang belok ke kiri, sedangkan warga yang lainnya lurus. Memang rumahku agak berjauhan dengan rumah-rumah warga yang lain.
Waktu belum lagi subuh. Aku dan suamiku melewati semak-semak dan pepohonan yang rimbun. Mataku terbelalak, tubuhku bergetar. Suamiku juga terperanjat. Dari rimbun pepohonan muncul sesosok tubuh berpakaian putih. Sosok mantan istri Seto tertawa cekikikan di atas pohon.
“Xi..xi..xi..mesra sekali kalian bergandengan tangan seperti itu..xi..xi..xi..!”
Aku dan suamiku tertegun sejenak. Lamat-lamat azan subuh mengalun merdu di ujung desa. Sosok Seti menghilang, terbang di balik rimbun pohon. Aku dan suamiku melanjutkan perjalanan dengan lekas dan bergegas berharap tidak bertemu dengan sosok Seti lagi.
***
Suatu malam Jumat. Selepas maghrib, dua orang minum kopi di warungku. Ditemani suamiku, mereka ngobrol-ngobrol sambil nyruput kopi susu dan pisang goreng panas buatanku.
“Ternyata hantu itu hanya karangan para pencuri itu ya,” kata Jana yang berkumis tebal.
“Iya pencuri itu memang licik. Kalau tidak ada Pak Kyai, sudah kutebas batang leher para pencuri itu dengan golok besarku. Saking emosinya, aku cuma menebas tiga pohon pisang di pinggir jalan,” timpal Giman yang bertubuh gemuk.
“Hari gini takut setan. Hahaha....” kata Giman lagi. Mereka berdua tertawa terpingkal-pingkal seperti menantang untuk ditakut-takuti. Aku dan suamiku cuma tersenyum. Dalam hati kami berkata. Hati-hati, arwah Seti masih gentayangan!
***
Tak terasa jam dua belas malam telah lewat. Suara burung hantu bersautan. Kuk..kuk..kuk..Aku melihat Giman menggigil. Jana juga begidik. Giman berbisik pada Jana,
” Aku kok jadi takut ya?”
“ Tenang saja. Itu hanya perasaanmu saja. Kita pamit saja. Malam ini giliran kita ronda,” sahut Jana lirih.
Setelah membayar kopi dan pisang goreng. Mereka berdua meninggalkan warungku menuju pos ronda di ujung desa.
Pos ronda itu letaknya di ujung desa di bawah rimbun pepohonan. Baru sejenak mereka berdua merebahkan tubuh di pos ronda. Tanpa ada angin, rimbun pohon bergoyang-goyang. Aku bisa melihatnya, karena pos ronda itu berada tidak begitu jauh di depan warungku. “Xi..xi..xi..Aku datang Kang..Aku bukan cuma gosip..xi..xi..xi..” Seti sudah muncul di hadapan kedua orang itu. Jana dan Giman langsung melompat dari pos ronda. Mereka berdua terkencing di celana saking takutnya. Jana dan Giman melompat tanpa dilihatnya ada dua bambu yang sangat runcing di dekat tegalan sawah. Jana terjatuh. Perutnya menancap di bambu yang runcing itu. Giman bernasib sama. Perut gendutnya tertembus bambu yang sangat runcing. Banjir darah terjadi di sekitar daerah itu. Sosok Seti menghilang. Suamiku berlari mendekat bersamaku. Seto memukul kentongan di pos ronda. Para warga berkumpul di TKP.
Esoknya jasad Jana dan Giman dikuburkan di pimpin oleh Pak Kyai.
“Mereka berdua kecelakaan dalam tugas ronda. Semoga dosa-dosa mereka diampuni-Nya. Semoga arwah mereka diterima di sisi Allah SWT,” ucap Pak Kyai dalam upacara sebelum pemakaman jenazah Jana dan Giman yang masih mempunyai hubungan keluarga.
“Keluarga dan kita yang ditinggalkan harus mengikhlaskan kepergian Jana dan Giman menghadap-Nya. Kita semua nanti juga akan menyusul mereka berdua. Kejadian ini semoga menjadi pelajaran bagi kita dan dapat membawa kita semakin beriman dan bertakwa kepada-Nya,” lanjut Pak Kyai.
Para warga mendengarnya dengan khidmat.
Istri Giman telah mengakui, yang menabrak Seti hingga meninggal adalah Giman sebagai sopirnya, dan Jana yang menjadi keneknya. Giman dan Jana takut dikroyok warga sehingga mereka melarikan diri. Kebetulan waktu itu tidak ada saksi yang melihat kejadian itu. Giman menceritakan itu pada istrinya. Kemudian istrinya menceritakannya pada Pak Kyai sebelum upacara pemakaman Giman dan Jana.
***
Jumat Kliwon. Pagi hari selepas upacara pemakaman. Dua keranda sekaligus diusung oleh para warga menuju sebuah pemakaman di ujung desa. Sesampai di kuburan, kedua jenazah itu langsung dikebumikan. Hujan turun dengan derasnya. Dari kejauhan Seti tersenyum manis. Melambaikan tangan menghilang di rimbun pepohonan. Hanya aku dan Seto yang melihatnya.[](TAMAT)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar