Minggu, 17 Juli 2011

Transisi Cinta

Cerpen Agus Pribadi

Aku mengenalmu ketika sedang mencoba melupakan seseorang yang pernah mengisi hati ini. Dia belum bisa aku singkirkan dari ruang hati ini.
“ Kembalilah padanya Mas,” ucapmu lirih.
“Dia telah meninggalkan aku,” jawabku.
“Tapi kamu nggak bisa melupakannya.”
“Bantu aku melupakannya.”
“Aku nggak bisa.”

Fotonya dalam dompet membuatmu berkesimpulan seperti itu. Jujur, aku ingin sekali melupakannya, kemudian mencoba merajut benang-benang cinta bersamamu. Tapi jejaring cintanya masih menjala hatiku, membuat aku tak berdaya.
***
Kamu adalah gadis paling santun yang pernah kukenal. Meski parasmu sederhana tapi memancarkan keanggunan dan kesabaran. Tutur katamu sehalus sutera. Sifat keibuanmu muncul meski kamu belum menikah.
“Foto ini akan kubakar,”seruku.
“ Jangan Mas. Kamu masih mencintainya, simpanlah selalu fotonya,” pintamu tak rela aku melupakan masa laluku. Masa lalu bersamanya yang penuh kenangan pahit.
Dia adalah gadis yang pernah melambungkan mimpiku. Saat-saat bersamanya adalah impian yang tak pernah terwujud. Dia tak pernah mencintaiku. Ketika aku ingin menjalin hubungan yang lebih serius dengannya, dia mulai menjauh dariku.
“Aku sibuk Mas,” kilahnya ketika aku ingin bertemu.
“Mungkin kita nggak jodoh Mas,” ucapnya mengingkari janjinya sendiri untuk berdua duduk di pelaminan.
Melihat perubahan dirinya, aku terjatuh ke dalam realita yang pahit buatku. Aku mencarinya di kota penantian, di ujung rindu, dan di pelosok harapan. Namun tempat-tempat itu sepi. Tak pernah aku menemukanmu di sana.
Dalam pencarianku itu, aku berjumpa denganmu. Aku hampir jatuh cinta padamu. Namun bayang-bayangnya menghalangiku. Sehingga hanya ada rasa simpati padamu. Kamu pun menyadari suasana hati seperti ini.
“Tinggalkan saja aku Mas,” katamu di rumahmu. Dua jam perjalanan menuju rumahmu. Sedangkan dia bekerja di luar kota tujuh jam perjalanan dengan bis umum.
“Mengapa kamu berucap seperti itu?”
“Karena kamu masih mencintainya.”
“Aku sudah melupakannya.”
“Nggak mungkin.”
Aku pulang dari rumahmu dengan perasaan hampa. Telah kucoba untuk melupakannya. Namun tak pernah bisa. Telah kucoba untuk mencintaimu tapi terhalang cintaku padanya. Ketika aku mulai belajar mencintaimu, ketika itu pula bayang dirinya muncul di hadapanku. Benarkah cinta tak harus memiliki? Tapi mengapa aku masih terobsesi untuk memilikinya padahal dia jauh di luar kota sedangkan ada dirimu yang lebih dekat.
***
Hari-hari aku lalui dengan berat, seperti mengangkat beban yang tak sanggup kuangkat. Dia sibuk dengan pekerjaannya di luar kota, seperti telah lupa dengan kotaku. Sementara kamu sedang menyelesaikan kuliahmu. Kamu ingin menjadi seorang guru. Sebuah profesi yang mulia. Sesuai dengan keanggunan dan kesabaranmu. Sementera dia bekerja di bidang marketing yang penuh persaingan.
“Aku telah membakar fotonya,” seruku mantap di hadapanmu. Aku mengunjungimu dengan membawa seikat harapan baru.
“Mengapa kamu bakar foto itu?” tanyamu dengn suara lirih dan tetes airmata di pipi.
“Aku telah benar-benar ingin meninggalkannya. Dia telah menikah dengan pria lain dua bulan yang lalu,” kataku mantap. Kamu hanya terdiam.
“Maukah kamu menikah denganku?” tanyaku penuh harap.
“Aku nggak bisa Mas,” jawabmu tenang.
“Mengapa nggak bisa?”
“Dalam penantianku pada dirimu yang tak pasti, ada lelaki yang mengajakku menikah. Dia lebih cepat memberi kepastian daripada kamu. Maafkan aku Mas.”
“Setelah aku benar-benar bisa mencintaimu?”
“Iya Mas. Aku juga telah benar-benar bisa tidak mencintaimu, dan telah memberikan cintaku padanya.”
Aku pulang dengan perasaan tak menentu. Sepeda motor yang kukemudikan tak sempurna dalam kendaliku. Mobil yang melintas mendadak di hadapanku hanya mampu sedikit kuhindari. Selebihnya aku tak tahu karena semuanya menjadi gelap, segelap hatiku.
***
Ketika tersadar aku sudah berada di ruangan sebuah rumah sakit. Ku buka mataku, dan yang pertama kulihat adalah ibuku, terus ada wajahmu tersenyum padaku, di sampingmu ada seorang pria. Kemudian di sampingnya lagi ada dirinya, juga dengan seorang pria.
“Cepat sembuh ya Mas. Kenalkan ini tunanganku,” ucapmu. Aku pun bersalaman denganmu dan tunanganmu. Dalam hatiku ada gumpalan besar yang menyesakkan dada.
“Cepat sembuh juga ya Mas. Kenalkan ini suamiku,” ucapnya sambil menggandeng suaminya. Aku pun bersalaman dengannya dan suaminya. Aku semakin tak bisa mengendalikan diri. Orang-orang yang ingin aku lupakan dalam hidupku ternyata datang menemuiku bersama pasangannya masing-masing.
“Pergi semua! Aku tak butuh kalian! Kalian hanya menambah kondisiku semakin parah. Pergi! Pergi! Pergi!” seruku mengagetkan semuanya. Mereka pun berpamitan pada ibuku kemudian meninggakan ruangan. Hanya ada ibuku yang menghiburku.
Di tengah kegalauan hatiku. Ada seorang perawat yang masuk ke ruangan tempat aku dirawat. Parasnya sangat cantik, senyumnya menghipnotis hatiku. Menghancurkan gumpalan-gumpalan besar yang mengganjal hatiku. Perawat itu yang telah mencurahkan perhatiannya padaku, menenangkan batinku, dan merawatku berhari-hari sampai sembuh.
“Namanya Nurul, belum punya calon suami lho,” kata ibuku mengenalkan perawat itu padaku ketika aku akan meninggalkan rumah sakit. Orang yang dikenalkan hanya tersipu malu.
“Emangnya kenapa Bu?” tanyaku.
“Katanya dia mau jadi menantu Ibu,” sahut ibuku.
Aku dan perawat itu saling berpandangan. Ada bulan di matanya. Aku dan dia sama-sama tersenyum. Hati kami sama-sama berkata, “Yuk kita menikah.”
Ibuku berdehem,”Ehm...ehm.”
Kamipun tertawa bersama. Ada kehangat terciptakan yang mampu melelehkan serpihan-serpihan yang tersisa di hatiku.[]

1 komentar: