SUATU malam di sebuah tanah lapang, aku duduk menikmati indahnya rembulan. Sesekali ku tengok kiri-kanan, depan-belakang. Ternyata aku tak sendirian. Ratusan pasang mata memenuhi tiap jengkal tanah lapang, tempatku menikmati indahnya rembulan. Mungkin, ada ribuan bahkan jutaan pasang mata lain yang tengah menikmati indahnya rembulan itu dari tempat yang berbeda. Entah mengapa rembulan malam itu begitu indah. Keindahannya mengingatkanku akan dirimu. Aku ingin kau juga menikmati indahnya rembulan itu. Tapi aku tak tahu bagaimana menghubungimu. Menunggu keesokan hari? Ah, terlalu lama dan aku tak yakin keindahannya akan sama dengan malam itu.
Akhirnya aku nekat menempuh cara yang mungkin tak pernah terpikirkan oleh manusia waras manapun. Aku kerat tiap sisi rembulan itu dengan pisau ajaibku. Perlahan dan hati-hati, agar keindahannya tak berkurang saat kau nikmati nanti. Berhasil..! Namun akibatnya bagian cakrawala tempat rembulan tadi bertahta berlubang. Langit berkurang terangnya. Aku bungkus rapi keratan rembulan itu. Ternyata, aksiku mengundang kehebohan luar biasa. Jutaan orang marah, karena rembulan indah yang tengah mereka nikmati tiba-tiba hilang. Dan mereka tahu, akulah "pencurinya". Ah tidak, aku bukan pencuri. Aku hanya ingin meminjam rembulan itu beberapa saat. Untuk kutunjukkan padamu.
Polisi dari seluruh penjuru dunia kini tengah memburuku. Ah, bagaimana aku harus menjelaskan pada mereka? Maukah mereka mengerti bahwa aku akan mengembalikan rembulan ini segera setelah kau menikmati keindahannya? Untukmu, kuharap kau akan menikmati keindahan rembulan yang kini tengah kudekap sesegera mungkin. Meskipun saat ini, di setiap sudut kota terpasang poster wajahku sebagai buronan nomor satu. Bersabarlah, dengan kelihaianku aku pasti akan mampu lolos dari semua hadangan itu...! (KOPAJA 613 Bintaro - Blok M, 6 Agustus 2008)
***
Ternyata aku masih belum bisa meloloskan diri dari kepungan para polisi yang memburuku. Seribu cara coba aku pikirkan, rumuskan, lalu kuterapkan. Tapi toh akhirnya aku tertangkap juga, saat menyamar jadi penjual koran di Terminal Blok M.
Di kantor Polisi aku diinterogasi. Kantong ajaib berisi keratan rembulan yang ingin kuperlihatkan padamu turut disita, jadi barang bukti. Aku perhatikan sekilas, pendar cahaya rembulan itu masih indah. Ah, aku bersyukur. Masih ada harapan memperlihatkan keindahan itu padamu. Bagaimana caranya "melewati" para polisi yang kini tengah menahanku, itu yang tengah kupikirkan saat ini. Tapi entah mengapa aku optimis dapat melaluinya. Membayangkan senyum teduhmu saat melihat indahnya keratan rembulan itu, membuat semangatku bergelora.
"Mengapa kau nekat melakukan ini anak muda?" tanya sang komandan polisi padaku. Di dadanya tertulis nama JONI.
"Bapak pernah jatuh cinta pada seorang gadis?" aku malah balik bertanya padanya.
"Eh malah balik tanya lagi. Tentu saja pernah. Memang, apa hubungannya dengan semua kenekatan yang kau lakukan ini?" tanyanya sedikit marah.
"Saya lakukan ini untuk seorang gadis yang saya cintai pak!" jawabku lantang.
"Apa ia juga begitu mencintaimu, hingga kau berani mempertaruhkan nyawamu untuknya?" tanya Pak Joni lagi.
"Saya tidak tahu pak, dan tak begitu peduli dengan hal itu. Bagi saya cinta adalah keindahan untuk memberi dan keikhlasan untuk menerima," jawabku puitis.
"Ah, gombal kau anak muda...!" seru Pak Joni sambil tersenyum.
Aku menerangkan ihwal kenekatanku "mencuri" rembulan itu panjang lebar pada Pak Joni. Ia mendengarkan dengan serius, sambil sesekali meledekku. Kulakukan semua cara agar bisa segera menemuimu.
"Tolong izinkan saya memperlihatkan rembulan dalam kantong ajaib ini, pada gadis yang saya kasihi pak. Setelah itu saya berjanji akan mengembalikan pada tempat asalnya. Dan saya bersedia menebus kesalahan saya dengan mendekam di penjara!" pintaku pada Pak Joni.
Mungkin karena tersentuh melihat kesungguhan hatiku atau entah karena iba, Pak Joni akhirnya bersedia mengantarku menemuimu. Ah, aku lega sekarang. Akhirnya kau bisa menikmati keindahan keratan rembulan yang aku "curi". Aku sangat bahagia saat melihat kau begitu menikmati keindahan rembulan itu.
Saat melalui kebahagiaan, seringkali guliran waktu terasa begitu cepat. Begitu pun yang kurasakan. Tiba waktunya aku harus mengembalikan keratan rembulan itu pada tempatnya semula. Aku senang kau tidak egois, untuk kemudian meminta rembulan itu jadi milikmu seorang. Kau dan aku sadar, bahwa keindahan rembulan itu menjadi hak semua orang untuk menikmatinya. Kini, aku harus memenuhi janjiku. Menebus dosa "mencuri" rembulan di balik terali besi. Tapi percayalah, cintaku padamu tak akan pernah ikut terpenjara karenanya...!!!
(Bintaro, 25 Agustus 2008)
Bagus Mastiyok, lanjutkan :)
BalasHapus